Thursday, December 30, 2010

Bahlool

Bahlool was born in Kufa and his real name was Wahab bin Amr. He was one of the dearest companion of Imam Jaffar As-Sadiq(as). People used to say Bahlool the lunatic but in reality he was among the wisest man in his time. He use to teach people through his wisdom and funny ways.

Bahlool is Questioned About Shaitan

They say that an evil and unmannerly person said to Bahlool, "I have a great desire to see Shaitan." 

Bahlool said, "If you don't have a mirror in your house, then look in clean water. You will see Shaitan." 


Bahlool and the Khalifa's Food

It is said that Haroun Rashid sent some food to Bahlool. His servant brought the food to Bahlool, put it in front of him, and said, "This is the Khalifa's special food, he has sent it to you to eat." 

Bahlool placed the food in front of the dog that was sitting in the ruins of the place. The servant screamed, "Why did you give the Khalifa's food to the dog!" 
Bahlool said, "Be quiet! If the dog hears that the Khalifa sent this food, it won't eat it either." 

Bahlool Sits on Rashid's Throne

One day Bahlool arrived at Haroun's palace and saw that the throne was empty. There was no one to stop him, so he unhesitatingly and fearlessly went and sat in Haroun's place. When the court slaves saw this, they immediately started whipping him and took him off the throne. Bahlool started crying. Haroun came and saw this; he asked those nearby why Bahlool was crying. A slave told him the whole story. Haroun scolded them and tried to cheer Bahlool up. 

Bahlool said he wasn't crying at his condition, but at Haroun's condition. "I sat on the seat of Khalifate wrongfully for a few seconds and received such a beating and endured such misfortune; but you have been sitting on this throne all your life! What troubles you must receive, yet you still don't fear the consequence." 


Bahlool's Decision

An Arab beggar arrived in Baghdad. When he passed the bakery, he smelled the pleasing smells of many kinds of foods, but he didn't have any money. He took stale bread out of his bag and softened it with the steam coming out, and then ate it. 
The baker astonishingly watched this for a few moments. When his bread finished, the beggar wanted to leave. The baker stopped him and demanded money. They exchanged hot words. Coincidentally, Bahlool passed by. 

The Arab wanted Bahlool's decision. Bahlool said to the baker, "Did this person eat your food or not?" "He didn't eat the food, but certainly benefited from its steam." 

Bahlool said to him, "This is correct. Listen!" He took a few coins out of his pocket, and one by one showed them to the baker, dropped them on the ground, and then picked them up. He said to the baker, "Take the noise of these coins." 

Extremely surprised, the baker asked, "What kind of way is this to give money?" Bahlool replied, "According to my just decision, the person that sells smells and steam should, in exchange, get the noise and tinkling of coins." 

Enjoy 

Friday, December 24, 2010

Syiar Asyura, Milik Semua Mazhab Islam

Syiar Asyura, Milik Semua Mazhab Islam
Pada buku ke-6 Mastnawi tertulis, dalam sebuah cerita pada hari Asyura
Seseorang tiba di kota Hilb dan berpapas pandang pada para peziarah dia bertanya
Sebab apakah tangis dan jeritan ini, mereka menjawabnya
Apakah tidak sampai padamu khabar ini, ini adalah hari Asyura
Ini adalah matam kelabu yang terus bergulir kurun demi kurun
Bagaimana mungkin seseorang menyandang kemukminan tanpa tahu kisah pilu ini
Pertanda cinta adalah mendengar yang disuka, kecintaan yang berbuah ketaatan
Para mukmin bermaktam sebagai pensuci ruh
Matam atas kepiluan yang seribu kali lebih dahsyat dari topan Nabi Nuh(*)
 Menurut Kantor Berita ABNA, Doktor Ali Akbar Wilayati dalam ceramah yang dia sampaikan dihadapan para hadirin majelis duka Imam Husain as yang diadakan di jalan Halikali kota Istanbul. Pada kesempatan itu dia memaparkan nilai-nilai yang terkandung dalam Revolusi Imam Husain as dan menjelaskan," Secara jelas sejarah telah menoreh Revolusi Imam Husain as sebagai hari Allah swt dan menilai kejadian itu sebagai sejarah yang amat penting. Bisa dikatakan bahwa kejadian paling penting setelah hari diutusnya Nabi Muhammad saw sebagai seorang Nabi adalah peristiwa terbunuhnya Imam Husain as, cucunda tersayang Nabi  oleh umat manusia yang menyatakan diri sebagai pengikut agama kakek beliau. Padahal apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw adalah usaha keras untuk mencari kebenaran dan senantiasa berdiri menentang kedhaliman."
Pada kesempatan itu dia mengingatkan," Imam Husain dan sahabat-sahabatnya menemui kesyahidan pada saat mereka dihalang-halangi untuk mendapat air, dimana disaat yang sama terdapat air sungai eufrat yang berlimpah ruah namun tetap saja beliau beserta keluarga dan bahkan para wanita serta anak masih bayi tetap dicegah untuk mendapatkan air walau seteguk. Para pembunuh itu dari kalangan orang-orang yang mengaku sebagai pengikut agama Islam dan pimpinan mereka tinggal di istana megah penuh keindahan dan foya-foya dengan berkedok agama Islam."
Dia mengingatkan," Asyura tidak hanya sebuah tragedi melainkan merupakan sebuah simbol penentangan pada kedhaliman dan pemberontakan atas penghinaan pada nilai-nilai mulia landasan dasar agama Islam, belum lagi beberapa puluh tahun setelah hari pengutusan kenabian berlalu beberapa orang sudah melakukan penyimpangan dalam pemerintahan islam. Mereka merubah sistem kekhalifahan menjadi sistem kerajaan. Sistem kerajaan ini turun temurun mewariskan nilai kemubaziran dan berbagai budaya jahiliyah arab dengan agama Islam sebagai penutup kebobrokan mereka."
Perwakilan dewan wali fakih dalam bidang hubungan antar negara dengan mengisyaratkan bahwa keadilan, nilai maknawi, kemerdekaan manusia, persamaan hak, dan peletakan taqwa sebagai standar nilai, sebagai ciri-ciri pemerintahan Islam, semua budaya itu mereka ganti dengan budaya Arab jahiliyah seperti penyembahan pada kelompok dan kabilah, kesenjangan sosial diantara umat Islam, bertambahnya kemunafikan dan dua muka, memerintah dan mengambil baiat dengan berdasar teror dan paksaan. Bertambahnya perbuatan yang jauh dari nilai ketaqwaan, dan penghalalan apa-apa yang diharamkan Islam. Melihat kondisi seperti ini apakah cucu Rasulullah saw harus diam. Membela agama kakeknya sudah menjadi kewajiban dirinya dan tidak ada pilihan lain lagi. Dia mengumumkan bahwa beliau tidak mampu membiarkan semua penyimpangan itu, dan beliau melakukan revolusi untuk menegakkan kembali agama kakeknya  sehingga para pencari kebenaran dan para pembenci kedhaliman bisa berubah, beliau ketika menyampaikan falsafah kebangkitan yang beliau lakukan berkata,” Apakah tidak kalian lihat bahwa dia hanya mengamalkan kebenaran dan sedang menjuhi kedhaliman.”
Dia menambahkan, " Pada saat peperangan yang tidak imbang itu terjadi Imam Husain as mengambil lagnkah sehingga jalan kebenaran nan lurus menjadi jelas bagi umat yang akan datang, dan satu hal yang lebih dicintai dari yang lain yaitu agar shalat tetap ditegakkan dan berusaha agar nilai penting dan pokok-pokok agama tetap terjaga dikehidupan umat Islam. Beliau dan para sahabat beliau pada saat datang shalat dhuhur mereka tetap menjalankan amal shalat dhuhur diawal waktu walaupun ditengah kepungan lemparan anak panah pasukan Yazid dan dari segala arah ada anak-anak panah mengarah pada tubuh-tubuh mereka. Dengan ini pergerakan Imam Husainn as adalah gerak dalam rangka merubah kondisi itu menjadi sikap pencari kebenaran, pengorbanan, dan penentangan dihadapan kedhaliman dan penyimpangan serta penegakkan keadilan. Sebuah tujuan utama yang menjadi media mendasar dalam mengupayakan nilai persatuan dan kesatuan umat Islam.
Anggota permusyawaratan Majma Dunia Ahlul Bait kembali mengingatkan bahwa berbagai madzhab selain diri mereka menjadi pengikut Imam Husain as mereka juga meneriakkan ajaran-ajaran yang telah diserukan Imam Husain as. Disemua penjuru ketika mereka mendengar nama Imam Husain as maka mereka akan terbawa pada pemahaman penentangan pada kedhaliman, masing-masing dari mereka menggenggam ajaran yang dibawa Imam Husain as, satu sisi mereka menjadi penyeru ajaran Imam Husain as dan disisi lain mereka adalah orang yang datang berbelasungkawa untuk Kesyahidan Imam Husain as.
Selanjutnya dia mengisyaratkan pada slogan" Setiap hari adalah Asyura dan setiap tempat adalah Karbala" dan menjelaskan bahwa ini bermakna sepanjang zaman pembelaan pada nilai-nilai dasar agama dan peperangan pada musuh adalah tanggung jawab seluruh umat Islam. Di zaman sekarang dunia Islam juga sedang menghadapi cobaan berat, dihadapan cobaan ini ada tanggung jawab berat dipundak umat Islam, seluruh umat Islam menjadi pengemban amanat tanggung jawab yang diletakkan Imam Husain as pada pundak mereka.
Dia menambahkan, "Sekarang ini musuh-musuh Islam dalam berbagai bentuk terus menerus meneriakkan penghinaan atas nilai-nilai agama Islam terutama pada Alquran dan sosok pribadi mulia nabi Agung Muhammad saw, terutama serangan pada nilai budaya, mereka menjadikan kebudayaan yang merupakan sebuah landasan kehidupan masyarakat sebagai sasaran bidik untuk dihancurkan atau dicampuradukkan. Serangan politik beruntun pada negara-negara Islam serta peperangan dari segi hukum merupakan ejawantah nyata peperangan antara hak dan bathil. Sudah semestinya pada kesempatan ini kita juga menyinggung penderitaan yang dialami saudara-saudara  kita di Palestina, sebuah bangsa yang menjadi korban fitnah Negara-negara Eropa dan Rezim Zionis dan berpuluh puluh tahun harus menanggung beban berat dipundak mereka dan mereka harus membayar dengan perlawanan demi Islam dan umat Islam, masyarakat ini dipaksa keadaan untuk menghadapi serangan dari kekuatan yang sangat tidak imbang kelompok Zionis."
Wakil Pemerintah Iran dalam bidang hubungan keluar ini berkata," Diantara pengepungan kebanci-bancian terhadap masyarakat Ghaza adalah contoh paling sengsara perang salib dari Zionis pada umat islam. Dengan menjadi pengikut Imam Husain as serta dengan mengambil ajaran Asyura mengajari kita agar peduli pada masyarakat Palestina yang terdhalimi, almarhum Imam Khumaini pada dasarnya telah mengepakkan kembali bendera yang sebelumnya dikembangkan Imam Husain as dalam memerangi pemerintah dhalim dan kedhaliman di dunia ini. Rahbar Ayatullah Ali Khamenei sang pahlawan Revolusi juga menjadikan Revolusi Imam Husain as sebagai contoh yang beliau ambil, penjagaan harga diri Islam dan penghidupan nilai-nilai islam beliau nilai sebagai tanggungan yang harus diemban. Dalam hal ini beliau menjadi seorang yang kukuh untuk mewujudkan persatuan ditengah-tengah umat Islam, ini tercermin dari fatwa-fatwa yang beliau sampaikan."
Perwakilan Wali Fakih mengisyaratkan nilai penting Negara Turki karena menjadi salah satu Negara yang teguh dalam menjaga kesucian Islam, dia juga memuji peranan ini bahwa ini menjadi salah satu penopang terwujudnya persatuan diantara kaum muslimin.
Dia juga menilai kehadiran perdana Menteri Turki pada upacara peringatan kesyahidan Imam Husain as sebagai salah satu pokok penting terwujudnya persatuan dan kesatuan Umat Islam. Pada ahir ceramahnya dia membaca syair dari Maulana yang berkisah tentang Imam Husain as dan tragedi Asyura.

Sunday, December 19, 2010

Persaudaraan Umat Manusia dan Umat Tuhan

Hasil nukilan Chen Chen Muttahari, Indonesia.

Asyura, 10 Muharram 1432 H.
Matahari telah menyapa dari sebelah timur langit. Saya bergegas merapikan segala sesuatu untuk menyiapkan diri saya pagi ini. Saya memandangi putri kecil saya yang masih terlelap. Ingin sekali saya ajak untuk ikut bersama saya, tetapi saya segera teringat kepada putri sulung saya yang masih sekolah dan sedang melaksanakan ujian semester. Dia pasti akan merajuk kalau saya membawa adiknya ikut bersama saya. Saya kemudian mengurungkan niat dan membiarkan ia meneruskan tidurnya yang pulas.

Perkenalan saya dengan Asyura sesungguhnya sesuatu perjalanan yang unik. Sejak tahun 2001, pada umur 22 tahun, saya telah mengikuti acara Asyura, yaitu hari syahidnya Imam Husein. Pada tahun itu saya adalah salah seorang ketua komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Universitas Padjadjaran (Unpad). Sejak tahun 2000 saya merupakan anggota IMM serta sebelumnya juga anggota HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Sejak kuliah di Unpad saya sering mengikuti berbagai kajian Islam baik itu yang diadakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia, KAMMI, PMII, maupun oleh HMI dan IMM.

Pada umur 17 tahun, setelah membaca salah satu buku karya Murtadha Mutthahari mengenai kewajiban mengenakan hijab, saya memutuskan mengenakan jilbab. Tetapi, sejak lahir sampai saat itu, tradisi keluarga inti saya adalah tradisi Muhammadiyah yang sufistik, dan menghormati keluarga ibu saya menjalankan ritual seperti tahlil yang ditolak oleh lazimnya kalangan Muhammadiyah. Bahkan, almarhum kakek buyut saya, ayah dari kakek saya yang (kebetulan) bernama Mutthahari, adalah salah seorang perintis Muhammadiyah di kampungnya, Madura, di wilayah yang mana sangat kental dengan tradisi NU (Nahdalatul Ulama).
Pada tahun 2001 saya mengikuti Asyura atas undangan seorang teman, saya bahkan tidak ingat siapa dia, dan apakah ia seorang Syi’ah atau bukan. Pada waktu itu, saya aktif juga di HMI Jatinangor dan teman-teman Muslim saya di HMI terdiri dari kalangan NU, Muhammadiyah, Persis, serta Syi’ah. Sudah biasa bagi kami solat berjamaah dan berdiskusi dengan berbagai tema. Yang tak bisa saya lupakan bahwa saya pertama kali datang mengenakan jilbab merah! Tentu saja saya merasa orang-orang memerhatikan saya di antara kerumunan orang berbaju serba hitam.

Pada tahun berikutnya, ketika saya datang atas undangan seorang pengurus himpunan mahasiwa pencinta ahlul-bayt, yang juga seorang aktivis HMI, saya yang telah mengamati tradisi sebelumnya, datang dengan menghormati tradisi berpakaian pada Asyura. Saya mengenakan pakaian serba hitam, juga jilbab hitam. Di sana, seorang teman dari HMI yang lain, bercanda dan menyatakan, apakah saya ini sebenarnya Syi’ah atau Muhammadiyah. Saya tertawa dan mengatakan bahwa saya seorang Muslim. Bukan Sunni, bukan juga Syi’ah.

Sampai hari ini, saya sendiri belum terlalu menggeluti bacaan-bacaan karya tokoh-tokoh Syi’ah Indonesia seperti Jalaluddin Rahmat, yang uniknya juga dulu merupakan anak murid Muhammadiyah, alumni IMM. Juga belum pernah utuh membaca karya-karya Ali Syari’ati, tokoh Syi’ah yang menghasilkan karya-karya yang dikagumi para aktivis HMI. Tetapi, saya memang lebih tertarik pada karya-karya Murtadha Mutthahari, Ibnu Sina, dan tentu saja Mulla Sadra.

Keberangkatan saya pada pagi ini ke Asyura lagi adalah kali kelima (sejak tahun 2001) setelah keabsenan saya karena urusan-urusan duniawi sebelum saya melanjutkan kembali kuliah di bangku The Islamic College, Jakarta.

Saya harus berterusterang. Sekarang ini saya berusaha mengikuti mazhab fikih Ja’fari dalam banyak hal, saya mengakui keimamahan Ali dan 11 imam lainnya, tetapi saya mengikuti guru spiritual saya yang menghormati para khalifaurashidin – dimana tak lazim seorang yang digelari Syi’ah mempunyai mursyid dan tidak bersedia melecehkan atau bahkan hanya mengkritik para amirul mukminin – dengan kata lain saya mengikuti suatu tarekat tetapi sebagai darwis pengelana yang tidak terikat pada zawiyah atau pondok mana pun. Juga saya belum memiliki marja’ taklid sebagaimana umumnya orang Syi’ah, sehingga saya juga yakin saya ini tidak layak disebut seorang Syi’ah. Mungkin saja saya ini seorang yang eklektik. Di dinding ruang tamu, saya menaruh gambar KH Ahmad Dahlan di samping Imam Khomeini, walau anehnya bulan lalu tiba-tiba gambar KH Ahmad Dahlan jatuh dan pecah. Mungkin beliau marah pada saya karena tidak lagi menjadi Muhammadiyah sejati.

Suami saya, adalah seorang Sunni, yang bersedia mengantarjemput saya ke acara Asyura dengan senang hati. Bahkan tahun lalu ikut di antara jama’ah azadari. Karena Asyura tahun ini tidak jatuh pada hari libur, maka suami saya terpaksa tidak bisa mengikuti.

Pagi itu saya menjemput sahabat saya seorang Sunni yang hendak pergi bersama kami ke acara Asyura tersebut. Beliau adalah seorang habib muda yang sedang kehabisan uang transportasi, jadi saya bilang kepadanya mengapa tidak ikut kami saja karena kami dari arah yang sejalur. Di Cempaka Putih, tidak jauh dari Balai Samudra, tempat Asyura Nasional di Jakarta dilangsungkan, dua orang teman kami yang bukan Muslim sudah menunggu kami. Yang pertama, seorang pemuda Batak Simalungun dan bermazhab Protestan Lutheran, yang bersikeras hendak mengalami sendiri bagaimana dan apa itu Asyura. Yang kedua, seorang gadis Jawa-Melayu beragama Baha’i yang telah memohon kepada saya untuk ikut dan minta dipinjamkan kerudung warna hitam.

saya dan vida, penganut Bahai, menjelang ceramah dan azadari di Balai Samudra
Di tengah perjalanan dari Cempaka Putih menuju Balai Samudra, tiba-tiba muncul pemuda keturunan Tionghoa bermarga Chong yang baru beberapa tahun memeluk Islam, menelepon dan ingin ikut bersama rombongan kami. Dia adalah anggota PITI, dulu dikenal sebagai organisasi untuk para muallaf Tionghoa. Maka berangkatlah kami ke Balai Samudra.

Sesampainya di sana, kami diberi buku laporan acara Asyura tahun kemarin. Disebutkan bahwa pengurus-pengurus dari Muhammadiyah dan NU tahun lalu hadir bersama kami dan setiap Arbain (40 hari setelah wafatnya Imam Husein) juga mereka biasanya hadir untuk bersama-sama menjalin ukhuwah dan menentukan arah perjuangan dalam melawan Zionis Israel. Di barisan hadapan tempat saya duduk, seorang sahabat yang dulu selalu menemani saya tidur dan makan sewaktu aktif di IMM juga ikut dan saya memeluknya karena rindu kepadanya. Tatkala salah satu penceramah muncul, saya melihat wajahnya, dan ia rupanya adalah salah seorang ulama terkenal. Pada Idul Adha kemarin ia menjadi imam sholat Idul Adha di masjid dekat rumah saya dengan fikih mazhab Syafi’i dan saya menjadi makmumnya. Khotbahnya sangat menggetarkan hati pada waktu sholat Idul Adha, yaitu umat Islam harus bersatu. Begitu pula pada Asyura kali ini.

Pada waktu azadari, saat seorang ustadz menceritakan kisah tragis Imam Husein, saya terkejut sahabat saya yang beragama Baha’i juga menangis tersedu-sedu. Bagaimana mungkin? Dulu, waktu azadari pertama saya justru tidak bisa menangis seperti dirinya, walau hati terasa ditusuk-tusuk duri.
Sesekali teringat sahabat saya seorang pastor Katolik Roma yang rajin mengundang saudara-saudara pendeta Protestan dari berbagai gereja atau denominasi. Dan dia juga rajin menghadiri acara-acara pendeta Protestan lain-lainnya itu. Saya menemukan keakraban yang luarbiasa di antara mereka walaupun mereka berbeda mazhab.

Saya juga jadi merindukan teman-teman di kampus ICAS, atau di HMI, di mana kami sudah terbiasa sholat berjama’ah dengan fikih mazhab masing-masing. Terkadang justru menjadikan perbedaan kami sebagai bahan gurauan karena akrabnya. ”Hari ini kita ikut fikih siapa ya?” Pernah, pada waktu teman-teman sekelas kami berdiskusi dan menginap semalam, teman saya yang menganut Syi’ah malah enggan memakai turbah dan ikut bersedekap ketika teman-teman yang lain solat berjamaah dengan fikih Syafi’i.
Generalisasi adalah hal yang ingin saya hindari. Sunni begini. Syiah begitu. Dan sebagainya. Karena itu saya memfokuskan diri pada pengalaman pribadi saya saja.

Lalu, keluarlah saya dan sahabat Bahai saya dari aula Balai Samudra yang penuh sesak oleh sekitar 5000 jamaah. Saya perhatikan mereka tidak semuanya Syiah. Malah saat azadari, di belakang saya sekumpulan ibu-ibu asyik mengobrol dan baju mereka tidak hitam-hitam. Teman saya, yang beragama Protestan, bersama teman-teman yang lain dari barisan ikhwan, sudah menanti di pintu, wajahnya terkagum-kagum dan  dengan antusias menceritakan pengalamannya sendiri. Ah, saya jadi malu. Dulu, Asyura pertama saya  tidak meninggalkan kesan seperti yang tampak pada wajahnya dan semangat ceritanya.

Guru spiritual saya dari jauh menjawab pesan Asyura saya yang isi terakhirnya kira-kira berbunyi ”saya menghormati guru-guru kami yang mendoakan para sahabat, termasuk para khulafaurashidin.” Ia mengingatkan bahwa kami menerima keimamahan para imam bukan karena membenci siapapun, tetapi karena kami meyakini dasar bagi keimaman mereka ada dalam AlQuran dan AlHadist. Ini hanya bergantung pada sudut pandang masing-masing dalam memahami kata-kata secara literal/zahir sekali pun.
Juga saya teringat pesannya, di jamaah mana pun, jika mereka sembahyang kepada Allah, solatlah bersama-sama mereka. Bahkan dia juga yang menanamkan kembali penghormatan kepada para pengikut manhaj salafi sebagai orang-orang yang saleh – walaupun itu tidak berarti saya selalu setuju dengan pendapat mereka. Saya hanya tahu diri saya seorang pengikut tauhid. Boleh anda bilang saya muslim, tidak juga tidak apa-apa. Kalau saya muslim, tanpa embel-embel lainnya. Saya ahlusunnah waljamaah karena mencoba mengikuti sunnah dan menghormati khulafaurashidin. Saya seorang manhaj salafi karena saya belajar mengikuti tauladan ahlul bait dan para imam sebagai para sholafus-shaleh yang saya taati. Saya seorang Syi’ah, yaitu Syi’ah Muhammad, Syi’ah Ali, Syiah Ibrahim alaihissalam. Bahkan mungkin juga saya seorang Kristian, seorang Kristian Unitarian, karena saya berusaha mengikuti ajaran Yesus Kristus, dan dengan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang patut saya sembah, serta mengimani Taurat, Zabur dan Injil.

Anda boleh tidak setuju pada saya. Tapi saya berhak mengatakan inilah pendapat saya. Berbeda pendapat adalah biasa. Tetapi, merayakannya? Apalagi menganggapnya sebagai musibah? Entahlah…Saya bahkan tidak mau dengan mantap mengatakannya sebagai rahmat. Saya hanya mencoba menerima segala perbedaan ini sebagai takdir Allah swt. Saya berserah diri kepadaNya atas apapun jalan yang dibukakan-Nya untuk saya.
Jika anda menolak perbedaan dan menganggapnya musibah, sampaikanlah kepada Allah supaya Allah menyatukan satu umat manusia kepada satu agama dan satu mazhab saja. Bukankah tak ada yang mustahil bagi Allah?
Maka hari itu pulanglah saya dijemput oleh suami saya. Hati saya penuh dengan harapan. Bahwa kelak persaudaraan sejati antar umat manusia bukanlah angan-angan kosong The Beatles maupun White Lion dalam lagu mereka, Imagine dan When The Children Cry. Sebab, hari itu, di Balai Samudra, Sunni, Syiah, Melayu, Cina, Bahai, juga Kristen mampu duduk bersama dalam azadari dan mengakui kesyahidan Imam Husein, sang pemuda penghulu surga. Tak jauh beda dengan Mahatma Gandhi, puluhan tahun silam saat menjadikan Imam Husein sebagai salah satu panutan bagi melawan tiran yang zalim.
Senja pun terbit. Saya mesti, mau tak mau, menyongsongnya….
Salam damai…Wallahualam bissawab.

http://gayatriwedotami.wordpress.com/2010/12/19/persaudaraan-dalam-iman/

Wednesday, December 15, 2010

Hussayn terkenang

Salam atas kesyahidanmu, ya Hussayn ibn 'Ali...
Salam atas kemuliaanmu, ya putera Rasulullah...
Salam atas kedukaanmu, ya puteranya Zahra...
Salam atas pengorbananmu, duhai Rajanya Cinta...

Di hari itu
Hussayn terkenang
Saat indah
dilahirkan

Di pangkuan
Di ribaan
Nenda tercinta
utusan Allah

Saat gembira
tiba-tiba
bertukar jadi
suasana duka

Bercucuran airmata
Rasulullah
Di pipinya
bayi istimewa

Seisi alam bergegaran
Lantaran telah datang
Ke dunia, satu nazarnya

Bergemanya tangisan
Di kamarnya Fatimah
Tangisan Rasulullah

Ya Hussayn ibni 'Ali
Ya tsarallah, wabna tsarih...

Aba 'Abdillah
Terkenang lagi
Saat indah
Di Madinah

Bermain-main
Di atas pundak Nabi
Khusyu'nya nenda ruku'
Nendanya begitu lama sujudnya

Bertubi-tubi
Ciuman di batang lehernya, ya Hussayn
Sambil mengucup bibir kandanya Hassan, ya Hussayn...

Namun kini
Semua itu
Hanya bermain
Di kelopak mataku

Namun kini
Semua itu
Hanya di kelopak mata

Namun kini
Semua itu
Tiada lagi

Kini tugasku satu
Membela agamamu
Di syurga kelak, terimalah daku

Ya Hussayn ibni 'Ali
Ya tsarallah wabna tsarih

Hussayn, Hussayn...
Allahumma zukna Karbala
Hussayn, Hussayn...
Allahumma zukna mohabbatal Hussayn
Hussayn, Hussayn...
Allahumma zukna ziyaratal Hussayn
Hussayn, Hussayn...
Allahumma zukna syafaatal Hussayn

Rasulullah menangisi cucunda Hussayn
Haydar 'Ali meratapi puteranya Hussayn
Bonda Zahra mengandungkan dukanya alam

Duka alam takkan terpadam
Selama-lamanya
10 Muharram takkan terlupa
Walau berzaman
Pedang 'Asyura 'kan tertanam
Dalam ingatan
Tak mungkin hilang
Walau kau lempar
Ke lautan dalam

Mazlum Hussayn, mazlum Hussayn

Muharram menjadi saksinya
Syahid Aba 'Abdillah
'Asyura menjadi harinya
Syahid Aba 'Abdillah
Karbala menjadi buminya
Syahid Aba 'Abdillah

Hussayn, Hussayn, Hussayn, ya Hussayn...
Cinta ya Hussayn, Cinta ya Hussayn...

Saturday, December 11, 2010

Falsafah Menangis atas Imam Husain
oleh Ismail Amin
Karbala, nama hamparan sahara dekat sungai Eufrat yang menjadi panggung drama nyata tragedi kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah. Sebuah padang pasir yang di beritakan dalam Al-Kitab, bahwa di tempat ini terjadi penyembelihan yang teramat dahsyat, yang digambarkan pedang akan makan sampai kenyang dan akan puas minum darah mereka (Yeremia 46:1). Dari sekian tragedi kemanusiaan yang terjadi, tragedi di Karbalalah yang terbesar. Bukan dilihat dari jumlah korban, melainkan siapa yang telah menjadi korban dan bergelimang darah. Jumlah mereka tidak seberapa, 'hanya' kurang lebih 72 orang. Yang menjadikan peristiwa ini sulit untuk terlupakan adalah Karbala menjadi samudera pasir yang menyuguhkan genangan darah dan air mata suci putera-puteri Rasul. 10 Muharram 61 Hijriah, Imam Husain bersama 72 pengikutnya — termasuk di dalamnya anak-anak — syahid dibantai oleh sekitar 30.000 tentara Yazid bin Muawiyyah di padang Karbala , Irak. Kepala Imam dan para syuhada dipenggal dan diarak keliling kota.
Peristiwa ini merupakan tragedi terbesar sepanjang sejarah Islam. Bisa jadi ada yang mempersoalkan mengapa kisah tentang tragedi ini harus selalu dikenang, harus selalu diingat dan ditangisi. Bukankah peristiwa ini hanya akan menyulut benih-benih perpecahan antara kaum muslimin, antara kelompok yang pro dengan kebangkitan dan kesyahidan Imam Husain ra dan dengan kelompok yang kontra dan menganggap Imam Husain ra adalah agitor dan pemberontak terhadap penguasa yang sah ?. Masihkah relevan kita memperbincangkan tentang kesyahidan Imam Husain di padang Karbala di abad yang justru orang-orang membincangkan perdebatan antar budaya dan peradaban melalui dunia maya? Apa faedah kita mengungkit-ngungkit tragedi yang telah menjadi masa lalu ini, dan buat apa kita menangisinya ?. Bukankah semestinya kita duduk bersama berbicara tentang perdamaian dunia untuk kehidupan yang lebih baik ?
Saya pribadi, menganggap hal ini sangat penting untuk kita perbincangkan. Terlepas dari tragedi Karbala, di Indonesia, atas nama suku, agama, ras dan golongan, nyawa manusia tidak lebih mahal dari sebungkus rokok. Aceh, Ambon , Sambas, Sampit, Poso, Papua adalah sedikit saksi atas kebiadaban segelintir manusia atas manusia lainnya. Tidak sulit kita menemukan orang-orang bergelimpangan meregang nyawa, baik karena dibunuh ataupun menghabisi nyawa sendiri. Lalu, di manakah kemanusiaan kita? Tersentuhkah kita dengan derita-derita mereka? Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah pernah berkata, “Mereka yang tidak pernah tersentuh dengan tragedi Karbala , tidak akan pernah tersentuh dengan tragedi kemanusiaan yang lain.” Tragedi Karbala menjadi ukuran. Kepedulian kita atas tragedi kemanusiaan, khususnya di bumi Nusantara ini akan terukur dari kepedulian kita pada Karbala. Imam Khomeini pernah berkata, “Sungguh kesyahidan Husain senantiasa membakar hati orang-orang yang beriman.” Dari sini, saya melihat tragedi Karbala sangat relevan untuk kita kenang.
Hakekat Tangisan
Pertama-tama, kami tegaskan bahwa masalah memperingati tragedi Karbala (10 Muharram) bukanlah masalah khas Syi'ah saja, tetapi masalah islami. Meskipun muslim yang bermadhzab Syi'ah lebih memberikan prioritas terhadap peristiwa ini dibanding kelompok muslim lainnya. Sebab, Imam Husain ra tokoh utama dibalik tragedi ini, bukanlah pelita bagi kaum Syi'ah saja, melainkan lentera hati setiap mukmin, apapun madhzabnya. Karenanya, kami tegaskan lagi, apapun yang berkaitan dengan peristiwa karbala pada hakikatnya adalah fenomena islami. Yang akan saya ketengahkan adalah, tangisan dan perilakunya terhadap manusia. Telah sering diajukan pertanyaan-pertanyaan kritis seputar tangisan yang biasa dilakukan orang-orang Syi'ah saat mengenang peristiwa Karbala. Peringatan akan tragedi Karbala dengan tangisan dan ratapan yang mereka lakukan bagi sebagian muslim yang lain adalah bid'ah bahkan cenderung kepada kesyirikan. Manusia manapun pasti mengalami kegetiran hidup yang membuatnya harus menangis. Bahkan lembaran kehidupan manusia diawali dengan tangisan dan diakhiri pula dengan tangisan perpisahan. Tangisan sesuatu yang alamiah, sesuatu yang telah menjadi fitrah kemanusiaan. Menurut Syaikh Taqi Misbah Yazdi, menangis disebabkan empat tingkatan spiritual : keridhaan (ar-rida'), kebenaran (ash-shidiq), petunjuk (al-hidayah) dan pemilihan (al-isthifa'). Dan para nabi telah mencapai empat tingkatan spiritual yang tinggi ini. "Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur'an al-Karim dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata, "Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi." Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk." (Qs. Al-Isra' : 107-109). Melalui ayat ini, disimpulkan bahwa ilmu dan makrifat adalah penyebab timbulnya tangisan. Setiap orang yang mengetahui hakikat sesuatu, mengetahui hakikat kenabian Rasulullah SAW dan mengetahui hakikat kesyahidan Imam Husain ra, maka hatinya sangat peka dan matanya muda mengucurkan air mata. Rasul bersabda, "Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis. " Di ayat lain Allah SWT berfirman, "Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul, kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran yang telah mereka ketahui (Qs. Al-Maidah : 83).
Mengapa Menangis atas Imam Husain ?
Seseorang yang menjadikan Imam Husain sebagai kekasihnya dan mendengar sang kekasih mengalami musibah dan bencana, apa layak hanya menanggapinya dengan dingin dan tidak menangis ?. Imam Husain adalah adalah kekasih bagi setiap muslim, beliau gugur dalam keadaan kehausan dan tidak cukup dibantai, tapi kepala beliau dipisahkan dari tubuhnya dan ditancapkan di atas tombak serta di bawa untuk dipersembahkan kepada raja Yazid yang bermukim di Syuriah. Oleh karenanya bagi yang ingin menziarahi tubuh Imam Husain, maka hendaknya pergi ke Karbala Irak dan bagi yang ingin menziarahi kepalanya, maka hendaknya pergi ke Suriah. Ini bukan cerita dongeng, sejarahnya sangat masyhur dan ditulis dalam kitab-kitab ahli sejarah. Tidak ada yang memungkiri, Imam Husain adalah cucu kesayangan nabi, dan berkali-kali menyampaikan kepada para sahabat untuk juga menyayanginya. Abu Hurairah bercerita, “Rasulullah SAW datang kepada kami bersama kedua cucu beliau, Hasan dan Husain. Yang pertama di bahu beliau yang satu, yang kedua di bahu beliau yang lain. Sesekali Rasulullah SAW menciumi mereka, sampai berhenti di tempat kami berada. Kemudian beliau bersabda, ‘Barang siapa mencintai keduanya (Hasan dan Husain) berarti juga mencintai daku; barang siapa membenci keduanya berarti juga membenci daku.” Imam Husain adalah kekasih setiap mukmin dan mukminah dan teman dekat setiap Muslim dan Muslimah, sehingga setiap orang mukmin akan merasa sedih atas kepergiannya. Tidak sedikit rakyat Pakistan yang menangisi kematian Benazir Bhutto yang tragis ataupun mahasiswa Makassar yang tidak bosan-bosannya memperingati tragedi AMARAH tiap tahunnya, maka bagaimana mungkin kita tidak menangis atas kematian Imam Husain yang mengajari dan menjaga nilai-nilai dan prinsip-prinsip kebenaran! Seandainya kalau bukan karena jihad sucinya, niscaya Islam akan lenyap bahkan namanya pun tidak akan terdengar. "Jikalau raga diciptakan untuk menyongsong kematian, maka kematian di ujung pedang di jalan Allah jauh lebih baik dan mulia ketimbang mati di atas ranjang." (Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib).
Menangis atas Imam Husain, Sunnah atau Bid'ah ?
Allah SWT berfirman tentang nabi Yaqub as yang menangisi kepergian anaknya, Nabi Yusuf as, "…Aduhai duka citaku terhadap Yusuf; dan kedua matanya menjadi putih (buta) karena kesedihan dan dialah yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya)." (Qs. Yusuf : 85). Dari ayat ini, kita bisa bertanya, apakah tangisan Nabi Yaqub as karena terpisah dengan anaknya sampai matanya menjadi buta adalah bentuk jaza' (keluh kesah) yang dilarang ? apakah Nabi Yaqub as melakukan sesuatu yang menjemuruskan dia dalam kebinasaan sampai anak-anaknya bertanya, " Demi Allah, senantiasa kamu mengingat Yusuf, sehingga kamu mengidap penyakit yang berat atau termasuk orang yang binasa ?" (Qs. Yusuf : 86). Alhasil, Al-Qur'an menceritakan bahwa ketika Yusuf dijauhkan Allah SWT dari pandangan Yaqub serta merta Yaqub menangis sampai air matanya mengering karena sangat sedihnya. Tentu saja tangisan Nabi Yaqub as bukanlah tangisan keluh kesah yang sia-sia, melainkan ungkapan kesedihan atas kebenaran yang telah dikotori, atas anaknya Yusuf yang telah di dzalimi. Hakim an-Naisaburi dalam Mustadrak Shahih Muslim dan Bukhari meriwayatkan, bahwa Rasulullah keluar menemui para sahabatnya setelah malaikat Jibril memberitahunya tentang terbunuhnya Imam Husain dan ia membawa tanah Karbala. Beliau menangis tersedu-sedu di hadapan para sahabatnya sehingga mereka menanyakan hal tersebut. Beliau memberitahu mereka, "Beberapa saat yang lalu Jibril mendatangiku dan membawa tanah Karbala , lalu ia mengatakan kepadaku bahwa di tanah itulah anakku Husain akan terbunuh." Kemudian beliau menangis lagi, dan para sahabatpun ikut menangis. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa inilah acara ma'tam (acara kesedihan dan belasungkawa untuk Imam Husain). Jika ketika mendengar kisah terbunuhnya Imam Husain lalu tidak mengucurkan air mata, maka kitapun akan dingin terhadap tragedi-tragedi kemanusiaan lainnya. Karenanya wajar, hati masyarakat kita tidak tersentuh ketika mendengar berita seorang suami membakar istrinya, seseorang membunuh dengan dalih yang sepele dan sebagainya. Masyarakat kita tidak terbiasa menangis tetapi terbiasa untuk tertawa. Hati kita cenderung keras dan menganggap tangisan adalah bentuk kekalahan. Tangisan atas Imam Husain bukanlah tangisan kehinaan dan kekalahan, namun adalah protes keras atas segala bentuk kebatilan dan sponsornya di sepanjang masa. Orang-orang mukmin merasakan gelora dalam jiwanya ketika mengenang terbunuhnya Imam Husain, bahkan Mahatma Ghandi berkali-kali mengatakan semangat perjuangannya terinspirasi dari revolusi Imam Husain ra. Kullu yaumin Asyura, kullu ardin Karbala, semua hari adalah Asyura, semua tempat adalah Karbala. Hari asy-Syura termasuk hari-hari Allah, tentangnya Allah berfirman : "Keluarkanlah kaummu dari kegelapan kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah." (Qs. 14:5). Meskipun ada usaha-usaha untuk memadamkan gelora perlawanan akan ketertindasan dan kedzaliman. Tetapi Allah Maha Perkasa, Dia tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun musuh-musuh-Nya tidak suka. Allah tetap menjaga gelora spiritual itu tetap menyala di hati-hati orang mukmin dan tidak akan pernah padam sampai hari kiamat. Semua mukminin wajib mengenang tragedi ini dan menangis atasnya, "Apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu menertawakan dan tidak menangis?" (QS. An-Najm: 59-60)

Wednesday, December 8, 2010

CINTA ASYURA DAN KARBALA


Pada 1 Muharram setiap tahun, ummat Islam merayakan sambutan Ma'al Hijrah, bergembira atas kehadiran tahun baru dalam kalendar Islam. Sambutan itu tidak disebut dalam al-Quran atau nas Sunnah Nabi (saw) secara terus terang namun ia tetap dianggap sebagai perayaan ummat Islam.
Ironinya ummat Islam masih lebih cenderung meraikan secara berlebihan-lebihan tahun baru Masihi baru-baru ini termasuk dicemari dengan perbuatan songsang lantas mencemarkan kemuliaan Muharam.
Kemuliaan Muharram yang pada hari itu kita berselawat memuji-muji Rasulullah (saw), satu amalan yang diperintah oleh Allah (swt). Kita alunkan nasyid-nasyid seperti 'Tala'al Badru 'Alaina' bagi mengingati kembali betapa gembiranya kaum Ansar sewaktu menyambut kehadiran Rasulullah (saw) bersama kaum Muhajirin di Madinah. Hijrahnya Rasulullah (saw), menandakan tamatnya segala penindasan ke atas golongan mustadh'afin (golongan tertindas dan lemah) lantas membuka era baru dalam perkembangan Islam, darinya juga bermula sebuah negara yang berlandaskan kepemimpinan Ilahiah.


Namun bulan Muharram juga mengingatkan kita semua tentang peristiwa besar yang pernah terjadi dalam sejarah tamadun manusia selepas zaman Rasulullah (saw) iaitu pada 10 Muharram 61 Hijrah yang menyaksikan cucu kesayangan baginda, Imam Husain bin Ali (as) bersama rombongannya dibunuh dengan kejam di bumi Karbala.
Jika Ma'al Hijrah, ummat Islam bergembira, peristiwa 10 Muharram pula disaduri dengan kesedihan. Tetapi apabila disebut, kita sambut 10 Muharram dengan ingatan pada peristiwa Karbala, ia sering kali dianggap sesuatu yang asing, sesat lagi menyesatkan. Benarkah begitu?
Kerana ia selama ini disambut dengan penuh emosi oleh para pengikut mazhab Ahlul Bait tetapi tidak di sisi para pengikut mazhab Ahlus Sunnah amnya. Bagaimanapun tradisi di rantau ini yang bermazhab Ahlus Sunnah begitu rapat dengan 'Asyura sebagaimana rapatnya masyarakat sebelah sini dengan ritual seperti tahlil dan marhaban yang didatangkan dari Hadhratulmaut.
Semuanya dikaitkan dengan ingatan terhadap Ahlul Bait.

 Bergantung kepada budaya setempat, 'Asyura (versi Ahlul Bait?) disambut seperti di ibu kota Teheran, Iran; Karbala, Iraq; Lucknow, India dan Nabatiyeh, selatan Lebanon, malah tidak ketinggalan di serata tempat termasuk di Malaysia. Hari mereka berdukacita dari 1 Muharram sampailah kepada 10 Muharram dan ia berlanjutan selama 40 hari perkabungan (Arba'in).
Ya, semua itu tiada dalam al-Quran dan Hadis Nabi (saw) secara berterus terang sebagaimana sambutan Ma'al Hijrah. Tetapi peristiwa penjarahan kejam terhadap Imam Husain (as), ahli keluarga dan sahabat-sahabatnya oleh tentera 'Umar bin Sa'ad di Karbala membuka lembaran sejarah kepada ummat.
Ia tidak seharusnya menjadi milik para pengikut mazhab Ahlul Bait semata-mata tetapi ia juga milik seluruh ummat yang cintakan perdamaian dan kebencian pada kezaliman. Kerana Ahlul Bait adalah warisan tinggalan Rasulullah (saw) buat pegangan seluruh ummat selepas al-Quran.
Menyambut 10 Muharram dengan mengingati Imam Husain (as) bukan bererti kita semua menjadi 'Syiah' atau 'Rafidhah'. Tetapi mengingati kesyahidannya di Karbala adalah sebahagian dari rasa cinta dan sayang pada belahan jiwa Rasulullah itu.
Sebagaimana yang diulang sebut dalam tahlil kita, ''Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan menyucikan kamu dengan sesuci-sucinya"
(surah al-Ahzab : ayat 33).
Justeru wajarkah manusia-manusia yang disucikan oleh Allah itu dibunuh dengan kejam. Layakkah insan yang dikasihi oleh Nabi (saw) diperlakukan sebegitu rupa. Ummat apakah kami ini, ya Allah? Jadi wajarkah kita tidak mempunyai secebis rasa sedih meskipun tidak beremosi bila mengenangkan sejarah hitam itu.


Ketika Imam Husain (as) menyaksikan dengan matanya, 'Ali Akbar dipanah dalam keadaan tekaknya kering kehausan. Tidak cukup itu, bayi kecil, 'Ali Asghar yang merengek-rengek perlukan air tetapi panah pula yang dilayangkan ke tubuhnya.
Bagi mereka yang begitu rapat dengan sejarah itu, emosinya membuak-buak, linangan air mata tidak dapat dibendung lagi. Kadang kala kerana faktor budaya setempat, ada yang terdorong melukakan badan mereka, mungkin ingin merasai penderitaan Imam Husain (as) dan ahli keluarganya serta para sahabatnya.
Apa peliknya jika bekas Presiden Mesir, Gamal Abdul Naser mati dibunuh oleh Khalid Islamboli, ada juga orang Mesir meratap hingga membunuh diri, inikan pula cucu Nabi (saw) yang dibunuh. Jadi tidak mustahil ada yang bertindak terlalu emosi dan meluahkan segala-galanya.
Namun wajarkah mereka yang dikatakan sebagai pengamal bid'ah itu dihapuskan dan dihalalkan darah mereka dengan aksi letupan bom sebagaimana yang sering terjadi di Pakistan dan juga Iraq apabila golongan bermazhab Ahlul Bait beramai-ramai keluar menyambut 'Asyura secara terbuka selepas puluhan tahun dihalang oleh rejim Saddam Hussein.
Seharusnya ummat Islam kini tidak lagi dibebankan dengan pertelingkahan sejarah lama. Ketika ada yang marah kerana sambutan 'Asyura, sebenarnya Karbala moden sedang berlaku dan 'Asyura terus menangis.
Bumi Gaza dibedil, dijarah sejak 27 Disember lalu. Serangan darat yang telah dimulakan oleh tentera Zionis tidak mengenal kanak-kanak, bayi dan wanita. Sasarannya membabi buta; masjid, hospital dan pasar.
Tentera rejim itu tiada bezanya dengan kekejaman 'Umar bin Sa'ad atau Syimr bin Dzil Jausyan ketika di Karbala. Keadaannya juga sama, jika tiada seorang pun penduduk Kufah yang berani melawan kezaliman tentera Umayyah untuk menyelamatkan Imam Husain (as) yang sepatutnya mereka bai'ah sebagai pemimpin dan ikutan.
Begitu juga Gaza, tiada penguasa atau negara yang mampu melawan Israel. Pertubuhan Persidangan Islam (OIC) tidak mampu berbuat apa-apa meskipun Palestin adalah isu yang melibatkan sama ada Sunnah atau Syi'ah.
Kita hanya mampu berdemonstrasi, melaung-laungkan 'Jahanam Israel!','Hidup Islam!' atau 'Hancur Amerika!' dan setidak-tidaknya menghulurkan bantuan kemanusiaan. Itu semua sekadar tindakan ad-hoc untuk Palestin.
Selepas itu, masing-masing pulang ke rumah boleh bersuka ria dan bergelak ketawa di bulan Muharram ini. Tetapi 'Asyura membuatkan penderitaan Palestin terasa dekat di hati.
Ahli sejarah al-Makrizi dalam kitabnya 'al-Khuthath' sebagaimana yang dipetik dari tulisan Dr Jalaluddin Rakhmat menyebut; ''Dinasti Fatimiah di Mesir menjadikan 'Asyura sebagai hari dukacita (mengenang kematian Imam Husain di Karbala)… Ketika Bani Ayyub merebut Mesir, mereka menjadikan hari itu hari kegembiraan… Melanjutkan tradisi orang Syam yang dirintis oleh al-Hajjaj pada zaman Abdul Malik bin Marwan.''
Untuk catatan, sepanjang ratusan tahun Hijrah, mimbar masjid di zaman Umaiyyah diperintah untuk melaknat Imam Ali (as) sehinggalah ia ditamatkan oleh Khalifah 'Umar 'Abdul 'Aziz yang mengubahnya kepada kalimah dari ayat Quran,''Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu kepada keadilan dan ihsan.''
Jalaluddin dalam bukunya, 'Meraih Cinta Ilahi...Pencerahan Sufistik' mengungkapkan setiap kali 'Asyura, pengikut Imam 'Ali (as) di Karbala merekonstruksi peristiwa itu dan merintih penuh nestapa.
Mereka berteriak, 'Setiap Hari Adalah Asyura Dan Setiap Bumi Adalah Karbala'. Kita baca ungkapan itu sebagai 'Setiap hari adalah perjuangan dan di mana saja kita berpijak itulah bumi perjuangan'...Selawat!
Lantas 'Asyura bukan sekadar menjadi lambang penentangan kezaliman pemerintah dalam Dinasti Umaiyyah. Memandangkan Khilafah ketika itu mendokong aliran mazhab Ahlus Sunnah, maka ada pihak yang menganggap sambutan 'Asyura adalah lambang penentangan kepada mazhab Ahlus Sunnah.
Namun sebenarnya 'Asyura adalah sumbu penolakan kepada sebarang kekejaman dan penindasan ke atas golongan mustadh'afin. Gelombang semangat 'Asyura jugalah satu ketika dulu menumbangkan Syohansyah Reza Pahlawi atau Shah Iran oleh pendukung garisan Imam Khomeini (qs), meskipun 'raja segala raja' itu adalah seorang 'Syiah'.
Sambutan 'Asyura tahun demi tahun itulah yang menyalakan semangat penentangan ke atas tentera Israel oleh Hizbullah, pimpinan Hujjatul Islam Sayyid Hasan Nasrullah yang mengisytiharkan kemenangan dalam peperangan selama 33 hari dengan rejim itu pada 2006 dan Hizbullah secara jelas mengiktiraf kepimpinan 'Wilayatul Faqih' di Iran.
Dengan semangat menentang kezaliman itulah juga Presiden George Bush dimalukan oleh seorang wartawan, Muntazhar az-Zaidi, seorang yang bermazhab Ahlul Bait dengan lontaran jamrah 'kasut but' bersaiz '10' itu.
Oleh itu, apabila membaca sejarah Karbala, ia sebenarnya terlalu dekat dengan apa yang telah berlaku sekarang dan mengajak kita berfikir bagaimana harus dilakukan untuk merubah nasib ummat. 'Asyura adalah menyatakan rasa sedih dan meluahkan kecintaan mendalam kepada Imam Husain (as), ahli keluarganya dan para sahabatnya sebagaimana Nabi (saw) pernah menyatakan rasa sedemikian rupa pada cucunya itu.