Sunday, December 19, 2010

Persaudaraan Umat Manusia dan Umat Tuhan

Hasil nukilan Chen Chen Muttahari, Indonesia.

Asyura, 10 Muharram 1432 H.
Matahari telah menyapa dari sebelah timur langit. Saya bergegas merapikan segala sesuatu untuk menyiapkan diri saya pagi ini. Saya memandangi putri kecil saya yang masih terlelap. Ingin sekali saya ajak untuk ikut bersama saya, tetapi saya segera teringat kepada putri sulung saya yang masih sekolah dan sedang melaksanakan ujian semester. Dia pasti akan merajuk kalau saya membawa adiknya ikut bersama saya. Saya kemudian mengurungkan niat dan membiarkan ia meneruskan tidurnya yang pulas.

Perkenalan saya dengan Asyura sesungguhnya sesuatu perjalanan yang unik. Sejak tahun 2001, pada umur 22 tahun, saya telah mengikuti acara Asyura, yaitu hari syahidnya Imam Husein. Pada tahun itu saya adalah salah seorang ketua komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Universitas Padjadjaran (Unpad). Sejak tahun 2000 saya merupakan anggota IMM serta sebelumnya juga anggota HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Sejak kuliah di Unpad saya sering mengikuti berbagai kajian Islam baik itu yang diadakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia, KAMMI, PMII, maupun oleh HMI dan IMM.

Pada umur 17 tahun, setelah membaca salah satu buku karya Murtadha Mutthahari mengenai kewajiban mengenakan hijab, saya memutuskan mengenakan jilbab. Tetapi, sejak lahir sampai saat itu, tradisi keluarga inti saya adalah tradisi Muhammadiyah yang sufistik, dan menghormati keluarga ibu saya menjalankan ritual seperti tahlil yang ditolak oleh lazimnya kalangan Muhammadiyah. Bahkan, almarhum kakek buyut saya, ayah dari kakek saya yang (kebetulan) bernama Mutthahari, adalah salah seorang perintis Muhammadiyah di kampungnya, Madura, di wilayah yang mana sangat kental dengan tradisi NU (Nahdalatul Ulama).
Pada tahun 2001 saya mengikuti Asyura atas undangan seorang teman, saya bahkan tidak ingat siapa dia, dan apakah ia seorang Syi’ah atau bukan. Pada waktu itu, saya aktif juga di HMI Jatinangor dan teman-teman Muslim saya di HMI terdiri dari kalangan NU, Muhammadiyah, Persis, serta Syi’ah. Sudah biasa bagi kami solat berjamaah dan berdiskusi dengan berbagai tema. Yang tak bisa saya lupakan bahwa saya pertama kali datang mengenakan jilbab merah! Tentu saja saya merasa orang-orang memerhatikan saya di antara kerumunan orang berbaju serba hitam.

Pada tahun berikutnya, ketika saya datang atas undangan seorang pengurus himpunan mahasiwa pencinta ahlul-bayt, yang juga seorang aktivis HMI, saya yang telah mengamati tradisi sebelumnya, datang dengan menghormati tradisi berpakaian pada Asyura. Saya mengenakan pakaian serba hitam, juga jilbab hitam. Di sana, seorang teman dari HMI yang lain, bercanda dan menyatakan, apakah saya ini sebenarnya Syi’ah atau Muhammadiyah. Saya tertawa dan mengatakan bahwa saya seorang Muslim. Bukan Sunni, bukan juga Syi’ah.

Sampai hari ini, saya sendiri belum terlalu menggeluti bacaan-bacaan karya tokoh-tokoh Syi’ah Indonesia seperti Jalaluddin Rahmat, yang uniknya juga dulu merupakan anak murid Muhammadiyah, alumni IMM. Juga belum pernah utuh membaca karya-karya Ali Syari’ati, tokoh Syi’ah yang menghasilkan karya-karya yang dikagumi para aktivis HMI. Tetapi, saya memang lebih tertarik pada karya-karya Murtadha Mutthahari, Ibnu Sina, dan tentu saja Mulla Sadra.

Keberangkatan saya pada pagi ini ke Asyura lagi adalah kali kelima (sejak tahun 2001) setelah keabsenan saya karena urusan-urusan duniawi sebelum saya melanjutkan kembali kuliah di bangku The Islamic College, Jakarta.

Saya harus berterusterang. Sekarang ini saya berusaha mengikuti mazhab fikih Ja’fari dalam banyak hal, saya mengakui keimamahan Ali dan 11 imam lainnya, tetapi saya mengikuti guru spiritual saya yang menghormati para khalifaurashidin – dimana tak lazim seorang yang digelari Syi’ah mempunyai mursyid dan tidak bersedia melecehkan atau bahkan hanya mengkritik para amirul mukminin – dengan kata lain saya mengikuti suatu tarekat tetapi sebagai darwis pengelana yang tidak terikat pada zawiyah atau pondok mana pun. Juga saya belum memiliki marja’ taklid sebagaimana umumnya orang Syi’ah, sehingga saya juga yakin saya ini tidak layak disebut seorang Syi’ah. Mungkin saja saya ini seorang yang eklektik. Di dinding ruang tamu, saya menaruh gambar KH Ahmad Dahlan di samping Imam Khomeini, walau anehnya bulan lalu tiba-tiba gambar KH Ahmad Dahlan jatuh dan pecah. Mungkin beliau marah pada saya karena tidak lagi menjadi Muhammadiyah sejati.

Suami saya, adalah seorang Sunni, yang bersedia mengantarjemput saya ke acara Asyura dengan senang hati. Bahkan tahun lalu ikut di antara jama’ah azadari. Karena Asyura tahun ini tidak jatuh pada hari libur, maka suami saya terpaksa tidak bisa mengikuti.

Pagi itu saya menjemput sahabat saya seorang Sunni yang hendak pergi bersama kami ke acara Asyura tersebut. Beliau adalah seorang habib muda yang sedang kehabisan uang transportasi, jadi saya bilang kepadanya mengapa tidak ikut kami saja karena kami dari arah yang sejalur. Di Cempaka Putih, tidak jauh dari Balai Samudra, tempat Asyura Nasional di Jakarta dilangsungkan, dua orang teman kami yang bukan Muslim sudah menunggu kami. Yang pertama, seorang pemuda Batak Simalungun dan bermazhab Protestan Lutheran, yang bersikeras hendak mengalami sendiri bagaimana dan apa itu Asyura. Yang kedua, seorang gadis Jawa-Melayu beragama Baha’i yang telah memohon kepada saya untuk ikut dan minta dipinjamkan kerudung warna hitam.

saya dan vida, penganut Bahai, menjelang ceramah dan azadari di Balai Samudra
Di tengah perjalanan dari Cempaka Putih menuju Balai Samudra, tiba-tiba muncul pemuda keturunan Tionghoa bermarga Chong yang baru beberapa tahun memeluk Islam, menelepon dan ingin ikut bersama rombongan kami. Dia adalah anggota PITI, dulu dikenal sebagai organisasi untuk para muallaf Tionghoa. Maka berangkatlah kami ke Balai Samudra.

Sesampainya di sana, kami diberi buku laporan acara Asyura tahun kemarin. Disebutkan bahwa pengurus-pengurus dari Muhammadiyah dan NU tahun lalu hadir bersama kami dan setiap Arbain (40 hari setelah wafatnya Imam Husein) juga mereka biasanya hadir untuk bersama-sama menjalin ukhuwah dan menentukan arah perjuangan dalam melawan Zionis Israel. Di barisan hadapan tempat saya duduk, seorang sahabat yang dulu selalu menemani saya tidur dan makan sewaktu aktif di IMM juga ikut dan saya memeluknya karena rindu kepadanya. Tatkala salah satu penceramah muncul, saya melihat wajahnya, dan ia rupanya adalah salah seorang ulama terkenal. Pada Idul Adha kemarin ia menjadi imam sholat Idul Adha di masjid dekat rumah saya dengan fikih mazhab Syafi’i dan saya menjadi makmumnya. Khotbahnya sangat menggetarkan hati pada waktu sholat Idul Adha, yaitu umat Islam harus bersatu. Begitu pula pada Asyura kali ini.

Pada waktu azadari, saat seorang ustadz menceritakan kisah tragis Imam Husein, saya terkejut sahabat saya yang beragama Baha’i juga menangis tersedu-sedu. Bagaimana mungkin? Dulu, waktu azadari pertama saya justru tidak bisa menangis seperti dirinya, walau hati terasa ditusuk-tusuk duri.
Sesekali teringat sahabat saya seorang pastor Katolik Roma yang rajin mengundang saudara-saudara pendeta Protestan dari berbagai gereja atau denominasi. Dan dia juga rajin menghadiri acara-acara pendeta Protestan lain-lainnya itu. Saya menemukan keakraban yang luarbiasa di antara mereka walaupun mereka berbeda mazhab.

Saya juga jadi merindukan teman-teman di kampus ICAS, atau di HMI, di mana kami sudah terbiasa sholat berjama’ah dengan fikih mazhab masing-masing. Terkadang justru menjadikan perbedaan kami sebagai bahan gurauan karena akrabnya. ”Hari ini kita ikut fikih siapa ya?” Pernah, pada waktu teman-teman sekelas kami berdiskusi dan menginap semalam, teman saya yang menganut Syi’ah malah enggan memakai turbah dan ikut bersedekap ketika teman-teman yang lain solat berjamaah dengan fikih Syafi’i.
Generalisasi adalah hal yang ingin saya hindari. Sunni begini. Syiah begitu. Dan sebagainya. Karena itu saya memfokuskan diri pada pengalaman pribadi saya saja.

Lalu, keluarlah saya dan sahabat Bahai saya dari aula Balai Samudra yang penuh sesak oleh sekitar 5000 jamaah. Saya perhatikan mereka tidak semuanya Syiah. Malah saat azadari, di belakang saya sekumpulan ibu-ibu asyik mengobrol dan baju mereka tidak hitam-hitam. Teman saya, yang beragama Protestan, bersama teman-teman yang lain dari barisan ikhwan, sudah menanti di pintu, wajahnya terkagum-kagum dan  dengan antusias menceritakan pengalamannya sendiri. Ah, saya jadi malu. Dulu, Asyura pertama saya  tidak meninggalkan kesan seperti yang tampak pada wajahnya dan semangat ceritanya.

Guru spiritual saya dari jauh menjawab pesan Asyura saya yang isi terakhirnya kira-kira berbunyi ”saya menghormati guru-guru kami yang mendoakan para sahabat, termasuk para khulafaurashidin.” Ia mengingatkan bahwa kami menerima keimamahan para imam bukan karena membenci siapapun, tetapi karena kami meyakini dasar bagi keimaman mereka ada dalam AlQuran dan AlHadist. Ini hanya bergantung pada sudut pandang masing-masing dalam memahami kata-kata secara literal/zahir sekali pun.
Juga saya teringat pesannya, di jamaah mana pun, jika mereka sembahyang kepada Allah, solatlah bersama-sama mereka. Bahkan dia juga yang menanamkan kembali penghormatan kepada para pengikut manhaj salafi sebagai orang-orang yang saleh – walaupun itu tidak berarti saya selalu setuju dengan pendapat mereka. Saya hanya tahu diri saya seorang pengikut tauhid. Boleh anda bilang saya muslim, tidak juga tidak apa-apa. Kalau saya muslim, tanpa embel-embel lainnya. Saya ahlusunnah waljamaah karena mencoba mengikuti sunnah dan menghormati khulafaurashidin. Saya seorang manhaj salafi karena saya belajar mengikuti tauladan ahlul bait dan para imam sebagai para sholafus-shaleh yang saya taati. Saya seorang Syi’ah, yaitu Syi’ah Muhammad, Syi’ah Ali, Syiah Ibrahim alaihissalam. Bahkan mungkin juga saya seorang Kristian, seorang Kristian Unitarian, karena saya berusaha mengikuti ajaran Yesus Kristus, dan dengan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang patut saya sembah, serta mengimani Taurat, Zabur dan Injil.

Anda boleh tidak setuju pada saya. Tapi saya berhak mengatakan inilah pendapat saya. Berbeda pendapat adalah biasa. Tetapi, merayakannya? Apalagi menganggapnya sebagai musibah? Entahlah…Saya bahkan tidak mau dengan mantap mengatakannya sebagai rahmat. Saya hanya mencoba menerima segala perbedaan ini sebagai takdir Allah swt. Saya berserah diri kepadaNya atas apapun jalan yang dibukakan-Nya untuk saya.
Jika anda menolak perbedaan dan menganggapnya musibah, sampaikanlah kepada Allah supaya Allah menyatukan satu umat manusia kepada satu agama dan satu mazhab saja. Bukankah tak ada yang mustahil bagi Allah?
Maka hari itu pulanglah saya dijemput oleh suami saya. Hati saya penuh dengan harapan. Bahwa kelak persaudaraan sejati antar umat manusia bukanlah angan-angan kosong The Beatles maupun White Lion dalam lagu mereka, Imagine dan When The Children Cry. Sebab, hari itu, di Balai Samudra, Sunni, Syiah, Melayu, Cina, Bahai, juga Kristen mampu duduk bersama dalam azadari dan mengakui kesyahidan Imam Husein, sang pemuda penghulu surga. Tak jauh beda dengan Mahatma Gandhi, puluhan tahun silam saat menjadikan Imam Husein sebagai salah satu panutan bagi melawan tiran yang zalim.
Senja pun terbit. Saya mesti, mau tak mau, menyongsongnya….
Salam damai…Wallahualam bissawab.

http://gayatriwedotami.wordpress.com/2010/12/19/persaudaraan-dalam-iman/

No comments:

Post a Comment